Serang, NBN.COM — Dugaan pelanggaran serius terhadap aturan ketenagakerjaan terjadi di PT Nikomas Gemilang Divisi Adidas, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Seorang pekerja bernama Catur Ariyanto diberhentikan secara sepihak oleh perusahaan pada 4 Februari 2025, hanya dua pekan setelah ia tercatat resmi menjadi anggota Serikat Pekerja FSB Garteks KSBSI PK Nikomas Gemilang pada tanggal 21 Januari 2025.
PHK yang dilakukan tanpa perundingan bipartit terlebih dahulu bersama serikat pekerja, yang menaunginya yakni FSB Garteks KSBSI PK Nikomas Gemilang dan dinilai melanggar sejumlah ketentuan hukum yang berlaku. Ironisnya, dugaan ketidakberpihakan juga mengarah kepada mediator dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Serang, Syahrully Arlan, SH, yang mengeluarkan anjuran tanpa memeriksa tahapan bipartit dan justru dinilai mendukung langkah pengusaha.
Dalam keterangan yang disampaikan oleh pengurus serikat pekerja FSB Garteks KSBSI PK Nikomas Gemilang mengatakan, perusahaan tidak pernah merespons surat undangan bipartit yang dilayangkan serikat, dan langsung melaporkan ke Disnakertrans untuk proses mediasi. Hal ini bertentangan dengan Pasal 151 ayat (2) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa setiap PHK harus diupayakan terlebih dahulu melalui perundingan bipartit.
Selain itu, sesuai dengan Permenakertrans No. 19 Tahun 2012 tentang Tata Cara PHK, perusahaan wajib menyelesaikan perundingan bipartit sebelum melanjutkan ke proses mediasi atau perselisihan. Dalam hal ini, tindakan perusahaan dan lolosnya laporan tersebut ke tahap mediasi menjadi sorotan.
Lebih lanjut, mediator Syahrully Arlan, SH dianggap tidak menjalankan tugasnya secara profesional. Dalam mediasi yang dilaksanakan, ia dinilai tidak mempertimbangkan dokumen penting seperti risalah dari para pihak maupun keanggotaan serikat pekerja dari Catur Ariyanto. Anjuran yang dikeluarkan pun disebut mengabaikan fakta dan berpihak kepada pengusaha.
Padahal, Permenaker No. 33 Tahun 2016 tentang Tata Kerja dan Standar Kompetensi Mediator Hubungan Industrial menegaskan bahwa mediator wajib bersikap netral, profesional, dan berpegang pada prinsip keadilan.
“Tindakan mediator ini bisa dikategorikan sebagai maladministrasi. Seharusnya mediasi ditolak jika bipartit belum dijalankan. Anjuran yang dikeluarkan pun cacat prosedur,” tegas Marthin F Ndruru salah satu pengurus bidang Advokasi FSB Garteks KSBSI di PT Nikomas Gemilang.
Dari aspek hukum, tindakan PT Nikomas Gemilang dan keputusan mediator berpotensi melanggar sejumlah ketentuan, antara lain:
- UU No. 13 Tahun 2003 jo. UU No. 11 Tahun 2020 (Cipta Kerja): PHK tanpa prosedur sah dapat dinyatakan batal demi hukum (Pasal 155).
- Permenaker No. 19 Tahun 2012: Melewati tahap bipartit membuat proses mediasi menjadi tidak sah.
- UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh: PHK terhadap anggota serikat tanpa dasar kuat dapat dikategorikan sebagai union busting.
Sanksi yang dapat dikenakan mencakup pembatalan PHK, pengembalian hak pekerja, hingga sanksi administratif dan pidana terhadap pihak perusahaan. Sementara itu, terhadap mediator yang terbukti tidak menjalankan tugas sesuai aturan, dapat dikenai sanksi kepegawaian, teguran keras, atau pencopotan jabatan.
FSB Garteks KSBSI PK Nikomas Gemilang menegaskan akan membawa persoalan ini ke Jalur yang semestinya dan melaporkan oknum mediator ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) serta Ombudsman Republik Indonesia.
“Kami tidak hanya membela Catur Ariyanto, ini tentang prinsip keadilan bagi seluruh pekerja yang berani berserikat. Kalau tidak dilawan, maka hukum hanya akan menjadi alat penguasa,” ujar Marthin F Ndruru perwakilan serikat dengan tegas.
Kasus ini menjadi perhatian penting bagi penegak hukum dan instansi ketenagakerjaan. Diperlukan sikap tegas terhadap pelanggaran hukum oleh perusahaan maupun aparat negara yang tidak menjalankan tugas sesuai mandat. Ketika hukum tidak ditegakkan, keadilan bagi pekerja hanyalah ilusi.(**)