Serang, NBN.COM – Kebebasan berserikat kembali tercoreng di tubuh Serikat Pekerja FSB Garteks KSBSI PK PT Nikomas Gemilang. Puluhan pengurus dan anggota yang secara kolektif mengundurkan diri sejak 15 Juli 2025, mendapati kenyataan pahit ketika Ketua PK Muhammad Inda dan pengurus lainnya justru menolak menerima surat pengunduran diri mereka. Ironisnya, penolakan itu dibarengi dengan aksi meninggalkan kantor serikat secara tiba-tiba dan menutup rapat kantor meskipun masih dalam jam kerja.
Penolakan terhadap surat pengunduran diri kolektif yang diserahkan secara sah oleh perwakilan mantan pengurus dan anggota serikat Garteks KSBSI PK PT Nikomas Gemilang. Aksi ini dinilai sebagai bentuk penghalangan terhadap hak pekerja dalam menentukan status keanggotaannya di serikat. Sabtu, (19/07/2025).
Pengunduran diri massal dilatarbelakangi oleh kekecewaan mendalam atas kepemimpinan yang sewenang-wenang dari Ketua PK dan intervensi dari Ketua DPC, terutama dalam:
- Mengabaikan pembelaan terhadap anggota yang di-PHK sepihak
- Mengeluarkan pengurus tanpa prosedur organisasi
- Penunjukan pengurus baru secara sepihak tanpa mandat anggota
Meskipun secara hukum tidak dibutuhkan tanda tangan ketua untuk mengundurkan diri dari serikat, mantan pengurus dan anggota tetap beritikad baik untuk menyampaikan surat resmi. Namun saat mendatangi kantor pada 19 Juli, mereka justru diabaikan, surat tidak diterima, dan beberapa menit kemudian, Ketua PK dan pengurus lainnya keluar dan menutup kantor tanpa alasan, saat jam kerja masih berlangsung.
Tindakan menolak surat pengunduran diri dan menutup akses terhadap pelayanan organisasi secara tidak sah dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum. Kebebasan berserikat dan berorganisasi dijamin dalam berbagai peraturan perundang-undangan:
- Pasal 28E ayat (3) UUD 1945:
“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” - Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh:
Setiap pekerja/buruh berhak menjadi anggota dan mengundurkan diri dari serikat pekerja/serikat buruh. - Pasal 28 UU No. 21 Tahun 2000:
Barang siapa dengan kekerasan, ancaman kekerasan, atau dengan cara apa pun menghalangi pekerja untuk membentuk, bergabung, atau tidak bergabung dengan serikat, dipidana penjara 1–5 tahun dan/atau denda Rp100 juta–Rp500 juta.
Tindakan Ketua PK dan pengurus yang menolak hak keluar dari serikat serta mengabaikan proses administrasi secara kolektif patut diduga sebagai bentuk penghalangan hak berserikat, yang dapat dijerat pasal pidana sebagaimana disebutkan di atas.
Kondisi ini menunjukkan kemunduran dalam praktik demokrasi internal organisasi buruh. Serikat yang seharusnya menjadi pelindung hak-hak pekerja, justru memperlihatkan wajah otoriter dan anti-partisipatif.
Alih-alih menghargai aspirasi anggota yang kecewa, pimpinan serikat justru berlindung di balik kekuasaan dan menutup ruang dialog. Apakah ini bentuk loyalitas buta kepada DPC Garteks KSBSI Kabupaten Serang, atau sekadar kepanikan atas kehilangan legitimasi?
Sikap diam dan aksi tutup kantor tanpa penjelasan merupakan bentuk pengabaian terhadap etika organisasi. Jika dibiarkan, praktik semacam ini akan semakin merusak citra gerakan serikat pekerja di mata publik dan pekerja itu sendiri.
Puluhan mantan anggota dan pengurus kini mempertimbangkan langkah hukum, termasuk melaporkan tindakan ini ke Disnakertrans dan aparat penegak hukum. Langkah ini penting untuk memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang dapat mempermainkan hak konstitusional pekerja.
Jika aparat penegak hukum konsisten dengan mandatnya, maka penyelidikan atas dugaan pelanggaran terhadap UU No. 21 Tahun 2000 patut dilakukan, termasuk mengusut apakah benar tindakan ini dilakukan atas perintah Ketua DPC Faizal Rakhman.